Oleh M Ighfar Maulana (Cluster 34)
Pada era globalisasi
ini, terdapat banyak hal yang tentunya mengubah peradapan suatu wilayah bahkan
hingga dunia sekalipun dengan ditandainya perubahan cara kerja, bersosial,
serta cara berpikir dan berpandangan pada suatu masalah tertentu. Perubahan
pola-pola kehidupan tersebut tentunya membuat masyarakat menjadi lebih maju
serta mewujudkan segala hal menjadi lebih efektif dan efisien seperti halnya
memudarkan tata kerja konvensional secara bertahap dengan seiringnya masyarakat
mengenal teknologi. Di samping itu, terdapat juga hal-hal negatif yang tidak
dapat dimungkiri lagi keberadaannya,
seperti membuat sikap dan budaya seseorang menjadi lebih individualis.
Ditambah lagi, sekarang telah memasuki masa transisi dari Revolusi Industri 4.0
menuju Social 5.0 yang pasti menimbulkan efek yang sangat terasa pada lapisan
masyarakat. Perubahan pada masa transisi ini dapat dikatakan sebagai masa labil
bagi masyarakat dalam mengubah perilaku dan sikap mereka menjadi lebih ke arah
sosialis di mana tidak semua lapisan masyarakat siap dan tahu bagaimana cara
tepat untuk dapat segera mengadaptasikan diri. Akibatnya, masyarakat yang tidak
menyesuaikan diri dengan baik biasanya akan mengalami gejolak mental yang cukup
serius yang diakibatkan oleh ketidaksiapan masyarakat tersebut terjun ke arah
arus globalisasi. Di satu sisi, masyarakat pasti harus melewati masa transisi
ini dengan siap dan benar. Di sisi lain, Kurangnya edukasi masyarakat mengenai
kesehatan mental menjadi isu yang sangat hangat belakangan ini. Maka dari itu,
saya M Ighfar Maulana sebagai mahasiswa di Universitas Brawijaya ini mencoba
memaparkan hal-hal yang sangat krusial mengenai pentingnya edukasi kesehatan
masyarakat terutama di masa transisi ini dalam runtutan pemahaman mengenai mental health, isu kesehatan mental yang
sedang panas-panasnya, pentingnya menjaga perilaku dalam bermasyarakat, serta
solusi bagi mental health case tersendiri.
Dalam pandangan
masyarakat Indonesia sendiri, mental
health atau kesehatan mental masih menjadi isu kesehatan yang sangat sepele
keberadaannya. Bahkan data dari riset kesehatan dasar menyebutkan bahwa pada tahun 2013
terdapat 56.000 orang dengan gangguan mental yang dipasung karena stigma
negatif, kurangnya informasi, dan buruknya fasilitas penanganan. Lebih memprihatinkan lagi, seseorang yang
memiliki gangguan mental sering dicap sebagai manusia yang kurang beriman atau kurang
dekat kepada Tuhannya ataupun yang lainnya. Padahal justru tidak demikian,
seseorang dikatakan sehat apabila memenuhi dua aspek, yaitu jasmani (kesehatan
tubuh) dan rohani (kesehatan mental) karena dalam setiap individu manusia tidak
hanya terdapat tubuh yang dapat terlihat oleh mata telanjang, tetapi juga ada
sebuah sistem saraf dan hormon yang menentukan keadaan mental seseorang. Berdasarkan
penjelasan tersebut, kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan raga
atau tubuh seseorang dan harus dirawat sebagaimana merawat tubuh sendiri. Namun
sayangnya, dilansir dari “pijarpsikologi”, 4 dari 5 orang dengan gangguan
mental belum mendapatkan penanganan yang sesuai dan pihak keluarga pun hanya
menggunakan kurang dari 2% pendapatannya untuk penanganan orang dengan gangguan
mental.
Dalam ranah yang lebih
sempit lagi, seorang siswa SMA biasanya akan lebih sulit menyelesaikan
permasalahan mental yang ia hadapi karena beberapa alasan, yaitu siswa tersebut
masih terpaut umur yang masih dianggap labil, tidak punya biaya yang cukup untuk
pergi ke psikiater, dan juga lingkungan sekolah yang masih toxic yang membuat kesehatan mentalnya semakin lemah. Seorang siswa
biasanya malu untuk datang ke BK di sekolahnya karena stigma remaja sekolah
yang mengatakan bahwa siswa yang sering masuk BK berarti siswa yang bermasalah
dengan sekolah atau siswa yang nakal. Bahkan, tidak jarang tenaga pendidik di
BK tidak memberi solusi yang relevan dengan permasalahan yang siswa tersebut
hadapi. Ini mencerminkan kurangnya pelatihan dan edukasi bagi para guru BK yang
seharusnya dapat menenangkan dan memberi solusi atas masalah yang siswa hadapi.
“Dalam menangani peserta didik yang bermasalah, guru pembimbing seringkali
hanya menyalahkan peserta didik yang bersangkutan tanpa mau melihat faktor
lainnya,” ujar Bagus Sanyoto, pakar pendidikan dari Surabaya ketika memberikan
materi pelatihan tutor tes potensi akademik (TPA) bagi guru bimbingan konseling
(BK) SMP/SMA di Lembaga Pengembangan Profesi Emerald Sidoarjo, Senin
(10/4/2017).
Berdasarkan masa
transisi ini, kesehatan masyarakat muncul karena ketidaksiapan masyarakat
berada pada masa transisi yang berupa
kecemburuan sosial, persaingan popularitas, serta sikap stress yang timbul
sebagai suatu reaksi dari impuls kelelahan mental seseorang menghadapi banyak
situasi buruk secara bersamaan. Akibat terburuk dari kejadian tesebut adalah
pelampiasan menyakiti diri sendiri karena hilangnya kepercayaan pada dirinya
sendiri sehingga menganggap dirinya tidak berguna dan pantas untuk disakiti. Suatu
bentuk unconfidence ini sudah masuk
ke dalam katerogi kritis yang harus segera ditangani oleh psikiater. Mirisnya
lagi, seseorang dengan keadaan seperti tersebut atau bahkan yang telah
mengakhiri hidupnya sendiri dianggap sebagai suatu tindakan tercela dan sangat
berdosa lalu dikucilkan sampai benar-benar dianggap paling hina. Stigma masyarakat
seperti itulah yang membuat seseorang yang sedang sakit mental memilih untuk
diam dan bungkam yang selanjutnya memperparah keadaan mental orang tersebut.
Solusi yang sangat tepat bagi kasus tersebut ialah dengan mengubah pandangan di
masyrakat mengenai orang yang sedang sakit mental karena orang yang mengkritik
atau bahkan yang menghujat tidak tahu apa yang sedang dialami oleh orang yang
sakit mental tersebut. Cobalah untuk memosisikan diri pada orang yang sedang
sakit mental tersebut agar memunculkan suatu rasa empati dan simpati pada
dirinya.
Langkah selanjutnya yang
harus dilakukan dalam mewujudkan kesadaran masyarakat agar lebih sadar akan
pentingnya kesehatan mental ialah dengan kerjasama yang baik dari pihak medis,
pemerintah, dan masyarakat itu sendiri. Pemerintah harus melakukan gerakan
hidup sehat dalam ranah mental health
dengan bantuan para tim medis kesehatan baik dalam bentuk sosialisasi ataupun
penyuluhan, seperti seminar ataupun kegiatan kemasyarakatan lainnya supaya
masyakarakat lebih memahami dan melaksanakan hidup sosial dengan lebih bijak
lagi. Langkah selanjutnya, pemerintah harus menyediakan layanan konsul
kesehatan mental bagi masyarakat dengan akses lebih mudah dan lebih terbuka
lagi, karena kebanyakan orang yang telah mempunyai masalah mental akan bingung
apa yang harus dilakukan lagi. Langkah terakhir yang mungkin efektif untuk
dilakukan adalah menyediakan psikolog atau psikiater di setiap sekolah khusus
untuk melayani konsultasi bagi para siswa yang ingin menyelesaikan masalahnya
mengingat kebanyakan orang yang depresi atau mentalnya terganggu merupakan
seorang remaja yang sedang mengenyam pendidikan. Dengan langkah-langkah
tersebut, diharapkan kasus kesehatan mental di Indonesia akan semakin berkurang
dan terselesaikan dengan baik.
Sebagai kesimpulan,
setiap individu wajib menyadari akan pentingnya kesehatan mental bersamaan
dengan kesehatan jasmani individu tersebut.
Oleh M Ighfar Maulana (Cluster 34)
Pada era globalisasi
ini, terdapat banyak hal yang tentunya mengubah peradapan suatu wilayah bahkan
hingga dunia sekalipun dengan ditandainya perubahan cara kerja, bersosial,
serta cara berpikir dan berpandangan pada suatu masalah tertentu. Perubahan
pola-pola kehidupan tersebut tentunya membuat masyarakat menjadi lebih maju
serta mewujudkan segala hal menjadi lebih efektif dan efisien seperti halnya
memudarkan tata kerja konvensional secara bertahap dengan seiringnya masyarakat
mengenal teknologi. Di samping itu, terdapat juga hal-hal negatif yang tidak
dapat dimungkiri lagi keberadaannya,
seperti membuat sikap dan budaya seseorang menjadi lebih individualis.
Ditambah lagi, sekarang telah memasuki masa transisi dari Revolusi Industri 4.0
menuju Social 5.0 yang pasti menimbulkan efek yang sangat terasa pada lapisan
masyarakat. Perubahan pada masa transisi ini dapat dikatakan sebagai masa labil
bagi masyarakat dalam mengubah perilaku dan sikap mereka menjadi lebih ke arah
sosialis di mana tidak semua lapisan masyarakat siap dan tahu bagaimana cara
tepat untuk dapat segera mengadaptasikan diri. Akibatnya, masyarakat yang tidak
menyesuaikan diri dengan baik biasanya akan mengalami gejolak mental yang cukup
serius yang diakibatkan oleh ketidaksiapan masyarakat tersebut terjun ke arah
arus globalisasi. Di satu sisi, masyarakat pasti harus melewati masa transisi
ini dengan siap dan benar. Di sisi lain, Kurangnya edukasi masyarakat mengenai
kesehatan mental menjadi isu yang sangat hangat belakangan ini. Maka dari itu,
saya M Ighfar Maulana sebagai mahasiswa di Universitas Brawijaya ini mencoba
memaparkan hal-hal yang sangat krusial mengenai pentingnya edukasi kesehatan
masyarakat terutama di masa transisi ini dalam runtutan pemahaman mengenai mental health, isu kesehatan mental yang
sedang panas-panasnya, pentingnya menjaga perilaku dalam bermasyarakat, serta
solusi bagi mental health case tersendiri.
Dalam pandangan
masyarakat Indonesia sendiri, mental
health atau kesehatan mental masih menjadi isu kesehatan yang sangat sepele
keberadaannya. Bahkan data dari riset kesehatan dasar menyebutkan bahwa pada tahun 2013
terdapat 56.000 orang dengan gangguan mental yang dipasung karena stigma
negatif, kurangnya informasi, dan buruknya fasilitas penanganan. Lebih memprihatinkan lagi, seseorang yang
memiliki gangguan mental sering dicap sebagai manusia yang kurang beriman atau kurang
dekat kepada Tuhannya ataupun yang lainnya. Padahal justru tidak demikian,
seseorang dikatakan sehat apabila memenuhi dua aspek, yaitu jasmani (kesehatan
tubuh) dan rohani (kesehatan mental) karena dalam setiap individu manusia tidak
hanya terdapat tubuh yang dapat terlihat oleh mata telanjang, tetapi juga ada
sebuah sistem saraf dan hormon yang menentukan keadaan mental seseorang. Berdasarkan
penjelasan tersebut, kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan raga
atau tubuh seseorang dan harus dirawat sebagaimana merawat tubuh sendiri. Namun
sayangnya, dilansir dari “pijarpsikologi”, 4 dari 5 orang dengan gangguan
mental belum mendapatkan penanganan yang sesuai dan pihak keluarga pun hanya
menggunakan kurang dari 2% pendapatannya untuk penanganan orang dengan gangguan
mental.
Dalam ranah yang lebih
sempit lagi, seorang siswa SMA biasanya akan lebih sulit menyelesaikan
permasalahan mental yang ia hadapi karena beberapa alasan, yaitu siswa tersebut
masih terpaut umur yang masih dianggap labil, tidak punya biaya yang cukup untuk
pergi ke psikiater, dan juga lingkungan sekolah yang masih toxic yang membuat kesehatan mentalnya semakin lemah. Seorang siswa
biasanya malu untuk datang ke BK di sekolahnya karena stigma remaja sekolah
yang mengatakan bahwa siswa yang sering masuk BK berarti siswa yang bermasalah
dengan sekolah atau siswa yang nakal. Bahkan, tidak jarang tenaga pendidik di
BK tidak memberi solusi yang relevan dengan permasalahan yang siswa tersebut
hadapi. Ini mencerminkan kurangnya pelatihan dan edukasi bagi para guru BK yang
seharusnya dapat menenangkan dan memberi solusi atas masalah yang siswa hadapi.
“Dalam menangani peserta didik yang bermasalah, guru pembimbing seringkali
hanya menyalahkan peserta didik yang bersangkutan tanpa mau melihat faktor
lainnya,” ujar Bagus Sanyoto, pakar pendidikan dari Surabaya ketika memberikan
materi pelatihan tutor tes potensi akademik (TPA) bagi guru bimbingan konseling
(BK) SMP/SMA di Lembaga Pengembangan Profesi Emerald Sidoarjo, Senin
(10/4/2017).
Berdasarkan masa
transisi ini, kesehatan masyarakat muncul karena ketidaksiapan masyarakat
berada pada masa transisi yang berupa
kecemburuan sosial, persaingan popularitas, serta sikap stress yang timbul
sebagai suatu reaksi dari impuls kelelahan mental seseorang menghadapi banyak
situasi buruk secara bersamaan. Akibat terburuk dari kejadian tesebut adalah
pelampiasan menyakiti diri sendiri karena hilangnya kepercayaan pada dirinya
sendiri sehingga menganggap dirinya tidak berguna dan pantas untuk disakiti. Suatu
bentuk unconfidence ini sudah masuk
ke dalam katerogi kritis yang harus segera ditangani oleh psikiater. Mirisnya
lagi, seseorang dengan keadaan seperti tersebut atau bahkan yang telah
mengakhiri hidupnya sendiri dianggap sebagai suatu tindakan tercela dan sangat
berdosa lalu dikucilkan sampai benar-benar dianggap paling hina. Stigma masyarakat
seperti itulah yang membuat seseorang yang sedang sakit mental memilih untuk
diam dan bungkam yang selanjutnya memperparah keadaan mental orang tersebut.
Solusi yang sangat tepat bagi kasus tersebut ialah dengan mengubah pandangan di
masyrakat mengenai orang yang sedang sakit mental karena orang yang mengkritik
atau bahkan yang menghujat tidak tahu apa yang sedang dialami oleh orang yang
sakit mental tersebut. Cobalah untuk memosisikan diri pada orang yang sedang
sakit mental tersebut agar memunculkan suatu rasa empati dan simpati pada
dirinya.
Langkah selanjutnya yang
harus dilakukan dalam mewujudkan kesadaran masyarakat agar lebih sadar akan
pentingnya kesehatan mental ialah dengan kerjasama yang baik dari pihak medis,
pemerintah, dan masyarakat itu sendiri. Pemerintah harus melakukan gerakan
hidup sehat dalam ranah mental health
dengan bantuan para tim medis kesehatan baik dalam bentuk sosialisasi ataupun
penyuluhan, seperti seminar ataupun kegiatan kemasyarakatan lainnya supaya
masyakarakat lebih memahami dan melaksanakan hidup sosial dengan lebih bijak
lagi. Langkah selanjutnya, pemerintah harus menyediakan layanan konsul
kesehatan mental bagi masyarakat dengan akses lebih mudah dan lebih terbuka
lagi, karena kebanyakan orang yang telah mempunyai masalah mental akan bingung
apa yang harus dilakukan lagi. Langkah terakhir yang mungkin efektif untuk
dilakukan adalah menyediakan psikolog atau psikiater di setiap sekolah khusus
untuk melayani konsultasi bagi para siswa yang ingin menyelesaikan masalahnya
mengingat kebanyakan orang yang depresi atau mentalnya terganggu merupakan
seorang remaja yang sedang mengenyam pendidikan. Dengan langkah-langkah
tersebut, diharapkan kasus kesehatan mental di Indonesia akan semakin berkurang
dan terselesaikan dengan baik.
Sebagai kesimpulan,
setiap individu wajib menyadari akan pentingnya kesehatan mental bersamaan
dengan kesehatan jasmani individu tersebut.